Bumi yang Tak Lagi Diam



Ketika Diamnya Bumi Mulai Berubah Menjadi Jeritan

Kita sering mengira bumi sabar.
Padahal yang sabar bukan bumi
yang sabar adalah naifnya kita sendiri.

Bumi sudah lama mengirimkan kode:
angin panas yang makin penuh amarah,
langit yang berubah warna seperti luka memar,
laut yang naik perlahan seperti seseorang yang kehilangan kesabaran.

Dan di antara semua itu, manusia tetap merasa hebat,
tetap merasa berhak,
tetap merasa menjadi tuan rumah di tempat yang bahkan bukan miliknya.


Rumah yang Kita Sombongkan, Padahal Kita Tidak Pernah Menyapunya

Kita datang ke hutan bukan untuk memberi salam,
tapi untuk memastikan apa yang bisa kita ambil darinya.

Hutan bukan papan dekorasi 
dia adalah paru-paru, jantung, dan sistem saraf bumi.
Tapi manusia memperlakukannya seperti halaman kosong dalam buku tulis:
bisa dicoret kapan saja, bisa dicabik kapan saja.

Dan ketika banjir datang, kita pura-pura tidak tahu kenapa.
Ketika panas membakar kulit, kita bertanya-tanya apa yang terjadi.

Padahal alam hanya berkata:
“Aku sudah bilang, tapi kalian tidak mau dengar.”


Makhluk yang Kita Buat Tak Berkata, Tapi Kita Siksa dengan Perbuatan

Kalau hewan bisa berbicara,
mungkin dunia ini akan penuh teriakan yang tak ingin kita dengar.

Bayangkan:
Lebah yang jatuh satu per satu,
burung yang kehilangan rumahnya,
gajah yang tersesat karena hutannya menjadi ladang tanpa jiwa.

Kita mengusir mereka dari rumahnya,
lalu berpura-pura kaget saat mereka mendekati rumah kita.

Manusia mencuri, lalu mengeluh ketika korban menatap balik.

Hewan bukan makhluk bodoh.
Mereka hanya terlalu lembut untuk melawan.


Cermin yang Kita Pecahkan, Lalu Kita Tanya Kenapa Wajah Kita Tampak Buruk

Lingkungan bukan musuh,
tapi kita memperlakukan dia seperti musuh bebuyutan.

Kita buang sampah sembarangan,
kita bakar apa yang tidak kita perlukan,
kita ambil lebih banyak dari yang kita butuhkan.

Kemudian saat bencana datang,
kita menatap langit seakan langit yang salah.

Tidak, manusia.
Langit tidak salah.
Kamulah yang terlalu serakah.


Tidak Selalu dari Langit, Kadang Datangnya dari Keserakahan di Atas Tanah

Manusia suka menyalahkan takdir.
“Musibah,” katanya.
“Ketentuan Tuhan,” katanya.

Padahal banyak bencana bukan turun dari langit 
tapi lahir dari tangan manusia sendiri.

Hutan dibakar untuk lahan.
Gunung dikeruk untuk keuntungan.
Laut diinjak sampai sesak.

Dan saat tanah longsor, kita bilang itu cobaan.
Padahal itu tagihan.

Tagihan dari keserakahan kita sendiri.


Bukan Trend Hijau, Tapi Tanggung Jawab Moral

Menjaga alam bukan lifestyle.
Bukan konten.
Bukan pencitraan.

Ini soal adab.
Soal hati.
Soal sadar bahwa bumi ini bukan warisan,
tapi titipan.

Dan titipan harus dijaga.

Setiap pohon yang kita tanam adalah doa.
Setiap sampah yang kita pungut adalah sedekah.
Setiap hewan yang kita selamatkan adalah bentuk syukur yang paling nyata.


Hal-Hal Kecil yang Sering Diremehkan, Padahal Itulah yang Menyelamatkan

Kita tidak perlu menjadi superhero.
Cukup manusia yang peduli.

Hal kecil yang kita lakukan
mengurangi plastik,
tidak buang sampah sembarangan,
hemat air,
tanam satu pohon,
bawa botol sendiri

itu bukan hal kecil bagi bumi.

Itu adalah bahasa cinta yang bumi akhirnya bisa mengerti.


Kita Numpang di Bumi Ini, Jangan Sok Berkuasa

Kita bukan pemilik bumi.
Kita cuma numpang.
Dan tamu yang baik tidak meninggalkan rumah dalam keadaan hancur.

Bumi tidak meminta kita menjadi penyelamatnya.
Dia hanya meminta kita berhenti menjadi perusaknya.

Karena pada akhirnya, bumi akan bertahan.
Yang rapuh bukan bumi tapi manusia.

Kalau manusia hilang,
bumi masih bisa tumbuh kembali.

Tapi kalau bumi jatuh,
manusia tidak punya tempat pulang.


Bumi Tidak Marah, Dia Hanya Sedang Mengembalikan Apa yang Kita Lakukan

Alam tidak membalas dendam.
Alam hanya mengembalikan.

Dan jika kita tidak berubah,
yang dikembalikan nanti bukan sekadar bencana,
tapi masa depan yang tidak kita inginkan.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

© by uea
Maira Gall